gambar: www.merdeka.com)
Senin 19 Oktober 2015, pendaftaran
program Bela Negara baru akan dibuka. Sebanyak 4.500 kader pembina Bela
Negara di 45 kabupaten/kota seluruh Indonesia akan dibentuk dan hampir
setengah dari jumlah penduduk Indonesia, 100 juta jiwa dengan usia di
bawah 50 tahun ditargetkan ikut program tersebut.
Masyarakat
sipil yang ikut dalam program tersebut akan dilatih selama sebulan.
Dikatakan bahwa pelatihan difokuskan pada revolusi mental dari materi
bela negara yang diberikan, meliputi: pemahaman empat pilar negara,
sistem pertahanan semesta dan pengenalan alutsista TNI, dan ditambah
lima nilai cinta tanah air, sadar bangsa, rela berkorban, dan pancasila
sebagai dasar negara. Pelatihan fisik tidak terlalu dibebankan,
melainkan baris berbaris saja. Usai mendapat latihan, mereka akan
mendapat sebuah kartu anggota Bela Negara. Lucunya, kartu itu
tidak mempunyai nilai khusus bagi warga yang pernah mengikuti pelatihan
Bela Negara. Lantas untuk apa? Penanda? Cinderamata?
Pemerintah
menilai program ini hanya sebagai upaya pembentukan kader bela negara
dan gagasan pemerintah untuk mempersiapkan rakyat menghadapi dua bentuk
ancaman, yakni ancaman militer dan nirmiliter, didasarkan Pasal 27 UUD
1945 dan UU Pertahanan Nomor 3 Tahun 2002. Pun demikian, pro kontra
pasti tetap akan muncul dari berbagai kalangan.
Revolusi mental
berikut kesiapan dalam pelaksanaan terkait bela negara jelas menjadi
alasan didukungnya program tersebut. Mengingat kondisi pemerintah
sendiri ‘dihuni’ oleh banyak kepentingan yang belum tentu menginginkan
Indonesia tetap berdiri kokoh, dikhawatirkan akan menjadi celah ancaman
tersendiri. Bahkan program ini dianggap sebagai pengalihan isu nasional
lain yang sedang terjadi di Indonesia, seperti pelemahan kekuatan KPK
oleh DPR, atau bahkan hanya untuk memutar kas negara.
Masalah
kesiapan juga harus diperhatikan. Sarana pelatihan yang dimiliki
Badiklat (Badan Pendidikan dan Pelatihan) Kemenhan, harus dipastikan
mampu menampung 833 ribu orang perbulan jika ditargetkan 100 juta orang
dalam 10 tahun. Sosialisai juga seharusnya dilakukan secara massive,
mengingat program tersebut untuk seluruh warga Indonesia di bawah usia
50 tahun, yang boleh jadi masih berpikiran negatif terhadap program
tersebut, terutama konsep bela negara bukan wajib militer. Jangan
sampai, program yang akan mulai dijalankan dalam beberapa bulan lagi,
tidak memiliki infrastruktur yang sesuai atau bahkan masyarakatnya
sendiri tidak mengeti apa yang harus, diikuti, dilakukan dan apa yang
dapat mereka peroleh.
Dilihat dari penyediaan fasilitas dan
sosialisasi saja terlihat tentu akan berdampak luar biasa besar pada
anggaran, yang bahkan sampai saat ini pembicaraan lebih rinci mengenai
anggaran antara pemerintah dengan DPR belum dilakukan. Jelas, menjadi
kontra dari sisi lainnya.
Usulan program bela negara yang
diajukan Kemenhan tersebut sedikit banyak membuat kiranya penulis
tertarik membahas pula topik wajib militer.
PROGRAM WAJIB MILITER
Luasnya
wilayah Indonesia, ditambah lautan yang mengelilinginya jelas membuat
Indonesia menjadi sangat rawan terhadap serangan luar. Keamanan negara
seperti yang diamanatkan UUD 1945 memang bukan hanya urusan tentara
saja, melainkan seluruh rakyat Indonesia walaupun sebatas komponen
cadangan sistem pertahanannya.
Idealnya sebuah negara memiliki
0,4% dari jumlah penduduknya untuk alat kelengkapan negara. Sementara
jumlah personel kelengkapan negara Indonesia tidak mencapai angka 1 juta
melainkan 413 ribu personel yang terdiri dari 317 ribu personel TNI AD,
82 ribu personel TNI AL, serta 34 ribu personel TNI AU. Tetap saja, apa wajib militer bisa dijadikan solusi terkait fakta tersebut?
(Sumber gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Wajib_militer)
Terlihat
cukup banyak negara yang menjalankan program wajib militer. Bahkan,
negara tetangga Indonesia, Singapura, juga ikut melaksanakan program
wajib militer, pun Malaysia, walaupun di sana disebut Program Latihan
Khidmad Negara (PLKN) dan tidak se-“wajib militer” yang seharusnya.
Sedikit informasi bahwa program Bela Negara dalam bentuk wajib militer
sebenarnya pernah diterapkan Indonesia di era tahun 1990an. Salah satu
program yang diluncurkan oleh pemerintah pada tahun 1992 adalah alumni
STPDN/IPDN angkatan pertama yang menjalani wajib militer selama dua
tahun. Para alumni STPDN/IPDN tersebut, setelah menjalani pendidikan di
kampusnya, dilanjutkan dengan pendidikan pada Sekolah Calon Perwira
(Secapa) di Bandung dan kemudian ditugaskan selama dua tahun di
teritorial TNI. Program wajib militer tersebut kemudian dihentikan pada
tahun 1993 karena saat itu ada kebijakan baru terkait wajib militer.
Program
wajib militer boleh dikatakan tidak praktis. Tentara cadangan yang
dilatih hanya sekitar 30 hari, mungkin hanya sempat untuk latihan baris
berbaris. Umumnya, mereka hanya mendapat uang saku. Padahal, waktu
tersebut mempengaruhi produktivitas mereka dalam kegiatan masing-masing,
yang jelas merugikan. Jumlah dana APBN untuk bidang pertahanan hanya
0,77 % dari total seluruh APBN (data statistik). Ini hanya untuk cukup
untuk membiayai komponen utama saja bahkan dirasa masih kurang karena
jumlah dana yang pantas untuk membiayai seluruh personel ini adalah 2%
total APBN. Dibanding mengadakan program wajib militer, penguatan
pertahanan melalui anggaran APBN, seperti untuk penambahan Alusista atau
evaluasi sistem keamanan yang telah ada bisa menjadi solusi.
Sikap
bela negara memang sangat penting dimiliki bagi setiap warga suatu
negara dan harus ditumbuhkan berdasarkan pada identitas negara tersebut.
Sikap bela negara, tidak hanya berarti mau dan mampu mempertahankan
negara. Bukan berarti pula tidak mempertahankan negara berarti tidak
memiliki sifat nasionalis. Nasionalisme tidak sesempit demikian.
Program-program yang dibuat untuk menumbuhkan sikap bela negara harus
benar-benar mengevaluasi dari berbagai aspek. Tidak hanya melulu
memikirkan tujuan, tapi proses dan pelaksanaan juga penting, bahkan
persiapan lebih penting lagi. Pro dan kontra dalam program yang diajukan
memang hampir mustahil tidak muncul, tapi semoga program yang dibuat
pemerintah sudah berdasarkan pemikiran yang terbaik. (FI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar