Rabu, 14 Oktober 2015

consolidate



Kepala saya penuh.
Ada saran apa yang harus saya lakukan saat ini, ketika saya kehilangan saya …


pagi pergi, perjalanan menitip rindu dimulai.
Bergerak. Rinduku.
Kutitipkan ia, rinduku, di ujung atap pasar becek di pinggir kali. Di tepian ranting pohon randu yang berdiri berjajar di sepanjang rel. Di sela-sela kerikil di jalan setapak menuju rumah berpintu kayu. Di bunga eceng gondok warna ungu yang berkumpul di rawa dekat balai desa. Di biru air laut tak jauh dari stasiun Plabuan. Di nyanyian pelajar berseragam putih merah yang meniti aspal menuju sekolah. Di senyum ramah penjaja teh. Di harum yang ditinggalkan fajar sesaat sebelum ia benar-benar menghilang. Di ujung hijau daun pakis. Di dua bangku panjang di belakang bangunan tua bercat putih. Di wajah sabar pengendara sepeda yang menunggu palang kereta api dibuka. Di pijar matahari yang mulai tinggi. Di rerumputan yang bertetangga dengan talas. Di satu, dua, tiga, empat, lima burung berbulu putih yang terbang rendah menyebrangi persawahan.
Kelak, ketika kau melintasi jalan yang sama, kau akan jumpai, rindu, yang kutitipkan itu, di sana; ujung atap pasar becek di pinggir kali, tepian ranting pohon randu yang berdiri berjajar di sepanjang rel, sela-sela kerikil di jalan setapak menuju rumah berpintu kayu…
Oktober, antara yen ing Tawang ono lintang
untuk Eka, di mana rindu bermula dan bermuara

ak pernah tahu menjadi 31 ternyata begitu menyulitkan. Pikiran saya kerap dipenuhi kecemasan yang tak penting; pencapaian, masa depan, penyesalan atas waktu yang -menurutsaya- terbuang sia-sia, bayangan-bayangan yang belum nyata.
Hidup sepertinya terlalu bergegas dan saya tak mempersiapkan bekal yang cukup untuk itu. Seperti lalai membawa kotak makan ketika piknik akhir pekan. Atau seperti mendaki bukit dan diterpa kelelahan yang sangat.
Dan saya begitu merindu menulis. Tapi saya tak menulis ketika cemas. Kalimat menguap ketika sedih berkepanjangan.
Buntu
Ini hanya benang kusut yang harus diurai, pelan-pelan.
Malam ini saya putuskan:
SECANGKIR KOPI PANAS

Saya tak hendak menyerah pada hidup. Saya berjanji untuk itu… :)
Sekarang, saya benar-benar memerlukan secangkir coklat panas … sebuah sarana bermain yang merupakan mediasi dalam pembentukan kreativitas anak.
Seiring dengan berkembangnya zaman, marak sekali dimana ada aktivitas yang menyertai anak - anak,
maka disitulah banyak didirikan tempat bermain seperti ini.

Selain berkelas, dimana sebuah tempat yang memfasilisasi media ini, juga harus mempertimbangkan soal keamanan,
keselamatan, kebersihan serta kenyamanan bagi pengguna yang sebagian besar adalah anak - anak kita sayangi. Hilda dan Goris yang dijauhkan dari pelukanku

Diawali dari sebuah konsep desain lain yang telah di riset dan dicermati, serta mutu nilai - nilai produksi yang sudah  salah kaprah
dikembangkan,Kami hadir dalam memberikan suatu pelayanan yang baik, seperti komitmen kami untuk menjaga sebuah
kualitas dan mengutamakan keamanan dalam setiap produk - produk kami.

Itulah yang selalu kami jaga seperti terhadap klien - klien kami terdahulu.
Baik dalam pencapain citra kami maupun anda.

Anak - anak kita adalah harta yang tidak ternilai,
Kami bisa berjalan juga karena anda dan mereka, yang sudah menjadi jadi bagian dari kami untuk memberikan yang terbaik.

Kami dari BRanda design, adalah sebuah bentuk usaha yantg bergerak dalam bidang desain interior, desain dan pembuatan untuk playground indoor dan outdoor.

Kami siap menjadi Mitra yang baik. Seperti komitmen Kami terhadap rekan-rekan bisnis terdahulu yang selalu Kami jaga dengan mutu dan pelayanan yang baik dari setiap pekerjaan yang dilaksanakan. Dan Kami selalu berangkat dari sebuah Konsep desain untuk mengawali sebuah pekerjaan. Agar semua terencana, aman/nyaman, mudah, dan sesuai dengan yang diinginkan.



Kunjungi Kami di kedai montang manting ( tak ada  meja tak ada tempat duduk)

heboh membongkar-bongkar almari karena Tanya  hitam hilang , di dalamnya ada buku arisan dan draft daftar utangannya . Dia mencari baju yang berwarna pink tau yang kelawuut . Setidak-tidaknya yang bernuansa pink. Ada pesta Valentine di kampus. Warna itu menjadi tiket masuk. Warna lain akan ditolak. Kecuali mau beli kaus oblong dari panitia yang berwarna pink. Tapi harganya selangit.
“Buat apa beli kaus oblong 200 ribu, kan pakainya juga hanya sekali,”kata Ami terus membongkar.
Bu Amat ikut membantu Ami mencari-cari, sampai-sampai terlambat menyiapkan makan malam. Amat langsung protes.
“Kenapa sih pakai ikut-ikutan valentin-valentinan. Itu kan bukan budaya kita!”
Ami dan ibunya tidak peduli.
“Mana makannya? Nanti maag-ku kumat!”
Bu Amat tak mendwengar. Ia terus membantu Ami mencari. Amat jadi kesal. Tapi makin dia kesal, makin Ami dan Bu Amat lebih tidak peduli. Amat jadi marah. Dia salin pakaian, lalu keluar rumah.
“Ke mana Pak?”
“Mau ikut valentine!” kata Amat tanpa menoleh.
Amat ke tukang sate di tikungan. Dia mau makan enak. Tapi ternyata tidak jualan. Orangnya kelihatan mau berangkat kundangan. Dia tersenyum melihat Amat datang.
“Mau ke situ juga Pak Amat?”
“Ke situ ke mana? Mau cari makan ini. Kenapa tutup?”
“Kan hari besar pak Amat.”
“Ah sejak kapan tukang sate ikut-ikutan valentine?”
“Bukan. Saya mau ke tempat Yuk Lee, kan ada makan-makan. Pak Amat mau ke situ juga kan?”
“Lee?”
“Ya”
“Sejak kapan di situ diundang Yuk Lee?”
“Ya namanya juga silaturahmi Pak Amat. Tidak perlu undangan. Kalau kita tahu ya harus datang. Saya kan langganan tetap dia dulu waktu masih jualan kue. Ayo ikutan.”
“Ah, mau cari makan ni!”
“Makan di situ saja, pasti enak semua! Yuk Lee pasti seneng kalau Pak Amat datang. Ayo Pak!”
Tukang sate itu menstater motornya.
“Ya sudah, ikut sampai di alun-alun, nanti turun di situ, makan ketupat!”
Amat naik ke boncengan. Tapi kemudian tidak turun di alun-alun, sebab asyik ngobrol. Tahu-tahu sudah sampai ke rumah Lee.
“Lho kok jadi ke sini?” kata Amat kaget.
Tukang sate hanya nyengir. Amat hampir saja mau kabur, tapi Lee muncul. Dia berteriak menyapa tukang sate. Waktu melihat Amat dia langsung datang dan mengguncang tangan Amat.
“Terimakasih pak Amat, terimakasih sudah datang. Tumben ini. Mimpi apa saya Pak Amat mau datang? Kebetulan semua pada sedang makan ini. Ayo cepetan masuk, Pak Amat. Jangan di luar, ke dalam saja!”
Amat dan tukang sate dibawa masuk ke dalam rumah. Ternyata dalam rumah lebar dan mewah. Padahal darii luar kelihatan sederhana. Lee memang kaya-raya, tapi tidak pernah pamer menunjukkan kekayaannya. Dia mulai dari jualan kue. Tiap hari istri dan anak-anaknya keliling. Lama-lama meningkat. Dasar ulet, sekarang tokonya ada lima. Mobilnya banyak. Tapi hubungannya dengan orang-orang yang dulu menjadi langganan kuenya tetap baik.
“Terimakasih Pak Amat, sudah mau datang ke rumah kami,”kata istri Lee menyambut.
Amat kemudian diperkenalkan kepada ketujuh putra-putri Lee. Ada yanhg sekolah di Amerika. Ada yang di Australia. Ada yang di Singapura. Ada juga yang di Hong Kong. Yang paling besar di rumah membantu Lee.
Amat malu sekali, seakan-akan Lee tahu dia datang untuk cari makan. Mula-mula Amat hanya sekedar nyicip. Tapi setelah melihat tukang sate dan tamu-tamu lain makan dengan rakus, Amat jadi lupa daratan. Ia makan sekenyang-kenyangnya.
Banyak sekali tamu datang silih berganti. Lee tak sempat lagi ngobrol dengan Amat. Dan ketika pulang, tak sempat lagi pamitan, sebab tamu semakin malam semakin melimpah. Diam-diam Amat dan tukang sate itu meninggalkan rumah Lee.
“Heran sudah kaya raya begitu, tamu-tamunya semua kok kelas naik motor seperti kita. Nggak ada mobil-mobil mewah ya,”kata Amat.
Tukang sate ketawa.
“Yang naik mobil nggak akan mau datang Pak Amat.”
“Kenapa?”
“Pasti malu,”
“Lho kenapa? Kan silaturahmi?”
“Nanti dikira cari Ang Pao.”
“Ang Pao?”
“Ya. Kalau buat kita sih rezeki. Orang-orang pakai mobil itu mana mau dapat amplop begini,:kata tukang sate merogoh dari sakunya dan menyerahkan pada Amat, ”ini untuk Pak Amat!”
Amat terkejut menerima amplop itu.
“Untuk saya ini?”
“Ya untuk pak Amat.”
“Bukannya untu di situ saja.”
“Saya sudah dapat Pak Amat. Tadi istri Lee sengaja ngasih lewat saya, dia tahu pak Amat pasti tidak akan mau kalau dikasih langsung.”
Amat tertegun.
“Gimana? Apa untuk saya saja?”
Sekarang jelas. Banyak yang datang ke rumah Lee, karena mengejar ang pao. Amat jadi malu. Ia ingin sekali mengembalikan amplop itu. Tapi tak mungkin. Itu bisa jadi salah paham.
“Gimana pak Amat? Untuk saya saja?”
Hampuir saja Amat mau menyerahkan amplop itu. Tapi jari tangannya merasakan amplop itu tebal. Ia jadi merasa saying.
“Ini tradisi mereka ya?”
“Betul pak Amat. Setiap tahun saya selalu ke situ. Tahun lalu juga. Isinya lumayan. Bagaimana itu untuk saya saja?”
“Tapi ini tradisi mereka kan?”
“Betul pak Amat.”
“Bukan soal uangnya, tapi soal tradisi kan? Kita menghormati tradisi kan?”
“Betul.”
“Ya sudah. Demi silahturahmi, saya terima ini. Terimakasih sudah ngajak ke situ tadi.”
“Tapi amplopnya untuk saya kan?”
Amat menggeleng.
“Meskipun Lee tidak melihat, kalau amplop ini saya berikan situ, berarti saya tidak menghargai Lee. Itu tidak baik. Jadi saya terima saja untuk silahturahmi.”
Amat lalu mengulurkan tangan. Mereka bersalaman. Tukang sate nampak gembira.
“Yuk Lee pasti senang sekali Pak Amat menerima amplop itu. Tadinya istrinya sudah berpesan, kalau pak Amat tidak mau, ya buat saya saja. Apa buat saya saja Pak Amat?”
Amat ketawa. Tanpa menjawab lagi dia pulang. Rasanya tubuhnya berisi. Di kantungnya ada amplop yang menurut ketebalannya tidak akan kurang dari satu juta. Sambil bersiul-siul, Amat masuk ke dalam rumah.
Ami kelihatan nongkrong di depan televisi bersama Bu Amat.
“Lho tidak ikut valentine?”
“Nggak ada baju pink.”
“Beli saja!”
“Duitnya dari mana?”
Amat ketawa. Dia merogoh amplop dan menyerahkan pada Ami.
“Nih. Lebihnya untuk Ibu.”
Ami dan Bu Amat melirik amplop itu dengan heran. Amat langsung saja menembak.
“Kita ini masyarakat plural, jadi harus bisa hidup saling menghargai. Itu namanya silahturahmi,”kata Amat.
Ami diam saja.
“Coba kalau tadi ngomong begitu, Ami sudah berangkat,”kata Bu Amat, “Bapak ini selalu terlambat!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar