Bangunan stasiun Kereta Api tua di kota Melbourne ini sungguh eksotis
kupandangi dari tempatku berdiri. Di sudut ini aku bisa melihat dua
suguhan pandang mata sekaligus: bangunan tua di arah kanan dan bangunan
modern di sisi kiri. Seperti dua peradaban yang bertemu di sebuah masa.
Flinders Street Station, begitu nama stasiun kereta api iu. Bangunan
berwarna kuning bergaya Viktoria itu sangat menonjol di tengah ikon
bangunan lain di area itu. City Circle, sebuah tram tua berwarna merah
unik yang berputar-putar mengelilingi kota untuk para turis ikut
melengkapkan kesan Viktoria kota ini. Ada yang bilang, Melbourne ini
seolah sepadan dengan kota Jogjakarta (tentu dalam kemasan dimensi ruamg
dan waktu yang berbeda). Paling tidak, dari sisi kota pelajar dan kota
multi rasial.
Di bangku hitam panjang ini aku duduk. Menikmati
waktuku sendiri. Meresapkan setiap hembusan angin. Menikmati setiap
detil yang bisa kurekam dan kujejalkan dalam neuron-neuron otakku.
Barangkali kelak aku akan kutuliskan dalam sebuah tulisan. Di
sekelilingku, sekelompok burung merpati terbang rendah dan hinggap di
sekitarku. Mematuk-matuk serpih roti tawar berlapis selai nanas yang
kulempar sesekali ke arah mereka. Burung-burung merpati itu seolah-olah
mengangkat wajahnya, menyorotkan pandang matanya padaku, dan berkata,
"Hey.... berikan lagi kami roti berselai nanas itu......". Hal itu
membuatku tersenyum dan meluluskan permintaan mereka. Begitu seterusnya.
Pagi
ini, pukul sepuluh. Orang banyak berlalu lalang. Sepasang kekasih
saling melingkarkan tangan di pinggang. Pengemis gembel di sudut sana
hanya diam sambil menadahkan kaleng bulatnya. Rambutnya sungguh masai.
Pakaiannya sungguh kumal. Aromanya? Entahlah. Aku tak berani mendekat.
Di sudut lain, pengamen berkelompok menyanyikan lagu dengan alat musik
mereka. Musik jalanan. Banyak sekali orang yang mengerumuninya. Dari
tempatku, terdengar sayup musik mengalun. Di atas sana, matahari
bersinar ramah. Awan bergerombol membentuk kelompok gugusan seolah
masing-masing gugusan berbisik membicarakan tingkah polah manusia di
bumi.
Unpredictable. Itulah sebuah kosa kata lama yang
menjadi kosa kata penuh tekanan di dalam benakku saat ini. Subuh tadi,
betapa gerimis yang lebat menghiasi udara Melbourne yang kering. Gerimis
segerimis-gerimisnya! Seperti tangis dua anak manusia dalam
ketidakberdayaan cinta yang lengkap dengan sembab dua pasang mata.
Gerimis yang begitu muram, laksana pandang dua pasang mata yang
terguncang yang melahirkan tangis tak terbendung. Sungguh, subuh tadi
begitu sendu! Ketika jarum jam merambat ke pukul tujuh, langit penuh
awan hitam. Mendung. Kelabu.
Begitulah. Seorang sahabat yang "menyematkan" kosa kata unpredictable
itu ke telinga, bahkan ke otak terdalamku. Dia telah mengenal Melbourne
sekian bulan lebih awal dariku. Lintasan pagi dan malam yang silih
berganti yang ditempuhnya saat menimba ilmu di Melbourne University
menjadikannya lebih bijak menjadi seorang sahabat.
Dari bangku
panjang di depan bangunan tua yang berdiri sejak tahun 1800-an ini aku
beranjak. Aku akan bergegas pulang ke rumah Father Eddie di arah Sydney
Road. Terang yang kurasakan, belum tentu akan benderang hingga senja
nanti. Bisa jadi angin dingin menusuk tulang menerpa yang ngilunya
melebihi letupan api cemburu. Bisa jadi hujan menderas dengan
butir-butir air yang sedingin air es. Menggigilkan. Atau tetap begini.
Hangat. Lembut. Selembut usapan tangan kekasih hati yang penuh kasih
sayang di kepala.
Karawang.
6 April 2012.
Mengenang suasana Melbourne di Maret 2005 dan mengenang kekinian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar