Rabu, 14 Oktober 2015

consolidasy ; siwi widjayanti hadiprayitno

Bangunan stasiun Kereta Api tua di kota Melbourne ini sungguh eksotis kupandangi dari tempatku berdiri. Di sudut ini aku bisa melihat dua suguhan pandang mata sekaligus: bangunan tua di arah kanan dan bangunan modern di sisi kiri. Seperti dua peradaban yang bertemu di sebuah masa. Flinders Street Station, begitu nama stasiun kereta api iu. Bangunan berwarna kuning bergaya Viktoria itu sangat menonjol di tengah ikon bangunan lain di area itu. City Circle, sebuah tram tua berwarna merah unik yang berputar-putar mengelilingi kota untuk para turis ikut melengkapkan kesan Viktoria kota ini. Ada yang bilang, Melbourne ini seolah sepadan dengan kota Jogjakarta (tentu dalam kemasan dimensi ruamg dan waktu yang berbeda). Paling tidak, dari sisi kota pelajar dan kota multi rasial.
Di bangku hitam panjang ini aku duduk. Menikmati waktuku sendiri. Meresapkan setiap hembusan angin. Menikmati setiap detil yang bisa kurekam dan kujejalkan dalam neuron-neuron otakku. Barangkali kelak aku akan kutuliskan dalam sebuah tulisan. Di sekelilingku, sekelompok burung merpati terbang rendah dan hinggap di sekitarku. Mematuk-matuk serpih roti tawar berlapis selai nanas yang kulempar sesekali ke arah mereka. Burung-burung merpati itu seolah-olah mengangkat wajahnya, menyorotkan pandang matanya padaku, dan berkata, "Hey.... berikan lagi kami roti berselai nanas itu......". Hal itu membuatku tersenyum dan meluluskan permintaan mereka. Begitu seterusnya.
Pagi ini, pukul sepuluh. Orang banyak berlalu lalang. Sepasang kekasih saling melingkarkan tangan di pinggang. Pengemis gembel di sudut sana hanya diam sambil menadahkan kaleng bulatnya. Rambutnya sungguh masai. Pakaiannya sungguh kumal. Aromanya? Entahlah. Aku tak berani mendekat. Di sudut lain, pengamen berkelompok menyanyikan lagu dengan alat musik mereka. Musik jalanan. Banyak sekali orang yang mengerumuninya. Dari tempatku, terdengar sayup musik mengalun. Di atas sana, matahari bersinar ramah. Awan bergerombol membentuk kelompok gugusan seolah masing-masing gugusan berbisik membicarakan tingkah polah manusia di bumi.
Unpredictable. Itulah sebuah kosa kata lama yang menjadi kosa kata penuh tekanan di dalam benakku saat ini. Subuh tadi, betapa gerimis yang lebat menghiasi udara Melbourne yang kering. Gerimis segerimis-gerimisnya! Seperti tangis dua anak manusia dalam ketidakberdayaan cinta yang lengkap dengan sembab dua pasang mata. Gerimis yang begitu muram, laksana pandang dua pasang mata yang terguncang yang melahirkan tangis tak terbendung. Sungguh, subuh tadi begitu sendu! Ketika jarum jam merambat ke pukul tujuh, langit penuh awan hitam. Mendung. Kelabu.
Begitulah. Seorang sahabat yang "menyematkan" kosa kata unpredictable itu ke telinga, bahkan ke otak terdalamku. Dia telah mengenal Melbourne sekian bulan lebih awal dariku. Lintasan pagi dan malam yang silih berganti yang ditempuhnya saat menimba ilmu di Melbourne University menjadikannya lebih bijak menjadi seorang sahabat.
Dari bangku panjang di depan bangunan tua yang berdiri sejak tahun 1800-an ini aku beranjak. Aku akan bergegas pulang ke rumah Father Eddie di arah Sydney Road. Terang yang kurasakan, belum tentu akan benderang hingga senja nanti. Bisa jadi angin dingin menusuk tulang menerpa yang ngilunya melebihi letupan api cemburu. Bisa jadi hujan menderas dengan butir-butir air yang sedingin air es. Menggigilkan. Atau tetap begini. Hangat. Lembut. Selembut usapan tangan kekasih hati yang penuh kasih sayang di kepala.
Karawang.
6 April 2012.
Mengenang suasana Melbourne di Maret 2005 dan mengenang kekinian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar