Rabu, 14 Oktober 2015

Disneyland lebih hiperealistik ketimbang museum lilin, di sebabkan museum lilin masih mencoba meyakinkan kita bahwa apa yang kita lihat merupakan reproduksi absolut realitas.sementara Disneyland menjelaskan kepada kita bahwa di dalam ruang ruangnya yang mencengangkan itu merupakan fantasi yang secara absolut di reproduksi (Umberto Eco, travel in hyper-reality, picador, 1986,hlm.43) **** Di zaman yang semakin maju karena di sokong penemuan di bidang teknologi, kini media massa: baik Televisi, Radio, media online dan yang lainya telah mengambil peranan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat.Demikian halnya dengan media sosial seperti:Twitter, Facebook, Instagram dan media sosial lainya yang kini terkoneksi dengan media massa, sama sama berperan penting dalam membentuk opini di masyarakat.Ada semacam konektivitas yang menciptakan simbiosis mutualisme saling menguntungkan di antara kedua jenis media tersebut. Sebagai contoh, media media massa saat ini juga men-share beritanya di media sosial seperti facebook dan twitter untuk menarik perhatian pembaca.Belum lagi kasus kasus yang hangat di perbincangkan di media sosial sering menjadi sumber awal pemberitaan di media massa.Sebagai contoh:Kasus beredarnya foto Gayus Tambunan di facebook yang menjadi awal terangkatnya kasus tersebut di media massa (Walaupun kasus itu berawal di kompasiana).Artinya ada ketergantungan di antara kedua jenis media tersebut. Portal digital yang banyak di gunakan media saat ini pun membuat informasi dapat dikonsumsi secara real time oleh masyarakat.Walaupun terkadang akurasi kecepatan berita/informasi saat ini tidak di imbangi dengan ketepatan isi berita.Sehingga di harapkan tidak menciptakan rumor yang kelak dapat membahayakan masyarakat bahkan media massa itu sendiri. Tentu penyebabnya adalah fenomena dimana kini media telah menjadi dunia tersendiri di benak masyarakat.Informasi menggantikan kebenaran, begitulah betapa kuat nya pengaruh media di tengah masyarakat.Untungnya sekalipun sempat terseret ke ranah politik hingga melupakan idealisme hingga tujuan mulia sebuah media, media tetap mendapat kepercayaan di masyarakat.Oleh karena itu jangan rusak kepercayaan masyarakat. Bandingkan dengan politikus dan pejabat negara yang sangat minim mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.Sekali mereka berbuat salah rasanya pintu maaf tak akan terbuka lagi.Hal itu tentu di karenakan masyarakat saat ini sudah semakin kritis dan cerdas dalam menilai suatu peristiwa.Masyarakat kini tak lagi terjebak pada definisi, melainkan lebih meilhat segala sesuatu berdasarkan substansi.Itu sebabnya sekalipun Gubernur DKI Jakarta bukan seorang muslim dan seorang keturunan china, masyarakat yang sudah berpikiran terbuka tetap mendukungnya jika dia membela kepentingan masyarakat.”nggak penting apa agamanya yang penting dia bisa memimpin jakarta” begitu sebagian komentar masyarakat menyikapinya. Contoh lain adalah kasus di haramkan nya BPJS Kesehatan oleh Majelis Ulama Indonesia.Kita bisa melihat bagaimana respon masyarakat yang telah merasakan manfaat dari di dirikanya lembaga tersebut.Bahkan masyarakat yang lebih cerdas dapat melihat subsidi silang dan dasar dasar lainya hingga menganggap bahwa BPJS Kesehatan tidaklah haram.”Emangnya kalau masyarakat sakit MUI mau ngobatin?” begitu komentar masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia kini tak lagi mudah di doktrin dengan paham dan definisi definisi.Kedepan saya yakin masyarakat bahkan tak akan lagi mudah termakan janji janji dalam kampanye, masyarakat akan lebih melihat bukti dari pada sekedar janji.Begitupun masyarakat akan semakin kritis dan semakin bijaksana sehingga tak mudah terjatuh dalam pencitraan pencitraan semata.Tak ada lagi nilai absolute yang dapat mempengaruhi masyarakat baik kesukuan maupun agama yang menandakan mulai lunturnya semangat primordialisme, itu semua tentu Dikarenakan masyarakat sudah lelah dibohongi, dan ingin melihat Indonesia lebih maju serta rakyatnya hidup sejahtera.Sisi positifnya adalah semangat kesukuan yang tadinya bersifat kedaerahan akan melebur dalam semangat keindonesiaan. Ijinkan saya membagikan sebuah kisah yang saya kutip dari catatan editor penerbit Jalasutra, Alfahtri Aldin, dalam buku yang ditulis oleh Yasraf Amir Piliang:Hypersemiotika tafsir cultural studies atas matinya makna.Begini ceritanya:Ada seorang pangeran kecil dengan mahkota ajaibnya dan penyihir jahat menculiknya, mengurungnya di menara, membuatnya jadi bisu.Di menara itu ada jendela berterali dan anak itu membenturkan kepalanya ke terali, berharap seseorang akan mendengar suaranya dan menemukanya.Mahkota itu membuat suara terindah yang pernah di dengar orang.Suaranya bergema sampai jauh, begitu indahnya suara tersebut sehingga orang merasa ingin menangkap udara.Mereka tak menemukan sang pangeran, tak pernah menemukan kamarnya, tapi suara itu memenuhi hati setiap orang dengan keindahan. Tentu ini adalah sebuah cerita yang sangat menarik tentang bagaimana media telah menjadi representasi dari realitas, informasi yang diberikanya dengan sendirinya di anggap masyarakat sebagai sebuah kebenaran.Demikian pula dalam pemilihan Presiden, Kepala daerah hingga anggota DPR semua calon berlomba lomba untuk mengedepankan citra untuk menutupi realitas sebenarnya tentang dirinya.Citra pada dasarnya adalah salah satu kajian yang dapat di perdalam melalui ilmu semiotika.Semiotika sendiri adalah ilmu yang mempelajari tanda tanda (jika di kaji dalam keilmuan tentu tak sederhana itu).Itu sebabnya pakar semiotika Umberto Eco mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta, hal itu tentu tak lagi terhindarkan kebenaranya.Namun dengan semakin terpelajar dan kritisnya masyarakat tentu masyarakat tak perlu lagi terkecoh dengan citra yang diciptakan media dan politikus melalui tanda tanda untuk memanipulasi realitas.

Disneyland lebih hiperealistik ketimbang museum lilin, di sebabkan museum lilin masih mencoba meyakinkan kita bahwa apa yang kita lihat merupakan reproduksi absolut realitas.sementara Disneyland menjelaskan kepada kita bahwa di dalam ruang ruangnya yang mencengangkan itu merupakan fantasi yang secara absolut di reproduksi (Umberto Eco, travel in  hyper-reality, picador, 1986,hlm.43)
****
Di zaman yang semakin maju karena di sokong penemuan di bidang teknologi, kini media massa: baik Televisi, Radio, media online dan yang lainya telah mengambil peranan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat.Demikian halnya dengan media sosial seperti:Twitter, Facebook, Instagram dan media sosial lainya yang kini terkoneksi dengan media massa, sama sama berperan penting dalam membentuk opini di masyarakat.Ada semacam konektivitas yang menciptakan simbiosis mutualisme saling menguntungkan di antara kedua jenis media tersebut.
Sebagai contoh, media media massa saat ini juga men-share beritanya di media sosial seperti facebook dan twitter untuk menarik perhatian pembaca.Belum lagi kasus kasus yang hangat di perbincangkan di media sosial sering menjadi sumber awal pemberitaan di media massa.Sebagai contoh:Kasus beredarnya foto Gayus Tambunan di facebook yang menjadi awal terangkatnya kasus tersebut di media massa (Walaupun kasus itu berawal di kompasiana).Artinya ada ketergantungan di antara kedua jenis media tersebut.
Portal digital yang banyak di gunakan media saat ini pun membuat informasi  dapat dikonsumsi secara real time oleh masyarakat.Walaupun terkadang akurasi kecepatan berita/informasi saat ini tidak di imbangi dengan ketepatan isi berita.Sehingga di harapkan tidak menciptakan rumor yang kelak dapat membahayakan masyarakat bahkan media massa itu sendiri.
Tentu penyebabnya adalah fenomena dimana kini media telah menjadi dunia tersendiri di benak masyarakat.Informasi  menggantikan kebenaran, begitulah betapa kuat nya pengaruh media di tengah masyarakat.Untungnya sekalipun sempat terseret ke ranah politik hingga melupakan idealisme hingga tujuan mulia sebuah media, media tetap mendapat kepercayaan di masyarakat.Oleh karena itu jangan rusak kepercayaan masyarakat.
Bandingkan dengan politikus dan pejabat negara yang sangat minim mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.Sekali mereka berbuat salah rasanya pintu maaf tak akan terbuka lagi.Hal itu tentu di karenakan masyarakat saat ini sudah semakin kritis dan cerdas dalam menilai suatu peristiwa.Masyarakat kini tak lagi terjebak pada definisi, melainkan lebih meilhat segala sesuatu berdasarkan substansi.Itu sebabnya sekalipun Gubernur DKI Jakarta bukan seorang muslim dan seorang keturunan china, masyarakat yang sudah berpikiran terbuka tetap mendukungnya jika dia membela kepentingan masyarakat.”nggak penting apa agamanya yang penting dia bisa memimpin jakarta” begitu sebagian komentar masyarakat menyikapinya.
Contoh lain adalah kasus di haramkan nya BPJS Kesehatan oleh Majelis Ulama Indonesia.Kita bisa melihat bagaimana respon masyarakat yang telah merasakan manfaat dari di dirikanya lembaga tersebut.Bahkan masyarakat yang lebih cerdas dapat melihat subsidi silang dan dasar dasar lainya hingga menganggap bahwa BPJS Kesehatan tidaklah haram.”Emangnya kalau masyarakat sakit MUI mau ngobatin?” begitu komentar masyarakat.
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia kini tak lagi mudah di doktrin dengan paham dan definisi definisi.Kedepan saya yakin masyarakat bahkan tak akan lagi mudah termakan janji janji dalam kampanye, masyarakat akan lebih melihat bukti dari pada sekedar janji.Begitupun masyarakat akan semakin kritis dan semakin bijaksana sehingga tak mudah terjatuh dalam pencitraan pencitraan semata.Tak ada lagi nilai absolute yang dapat mempengaruhi masyarakat baik kesukuan maupun agama yang menandakan mulai lunturnya semangat primordialisme, itu semua tentu Dikarenakan masyarakat sudah lelah dibohongi, dan ingin melihat Indonesia lebih maju serta rakyatnya hidup sejahtera.Sisi positifnya adalah semangat kesukuan yang tadinya bersifat kedaerahan akan melebur dalam semangat keindonesiaan.
Ijinkan saya membagikan sebuah kisah yang saya kutip dari catatan editor penerbit Jalasutra, Alfahtri Aldin, dalam buku yang ditulis oleh Yasraf Amir Piliang:Hypersemiotika tafsir cultural studies atas matinya makna.Begini ceritanya:Ada seorang pangeran kecil dengan mahkota ajaibnya dan penyihir jahat menculiknya, mengurungnya di menara, membuatnya jadi bisu.Di menara itu ada jendela berterali dan anak itu membenturkan kepalanya ke terali, berharap seseorang akan mendengar suaranya dan menemukanya.Mahkota itu membuat suara terindah yang pernah di dengar orang.Suaranya bergema sampai jauh, begitu indahnya suara tersebut sehingga orang merasa ingin menangkap udara.Mereka tak menemukan sang pangeran, tak pernah menemukan kamarnya, tapi suara itu memenuhi hati setiap orang dengan keindahan.
Tentu ini adalah sebuah cerita yang sangat menarik tentang bagaimana media telah menjadi representasi dari realitas, informasi yang diberikanya dengan sendirinya di anggap masyarakat sebagai sebuah kebenaran.Demikian pula dalam pemilihan Presiden, Kepala daerah hingga anggota DPR semua calon berlomba lomba untuk mengedepankan citra untuk menutupi realitas sebenarnya tentang dirinya.Citra pada dasarnya adalah salah satu kajian yang dapat di perdalam melalui ilmu semiotika.Semiotika sendiri adalah ilmu yang mempelajari tanda tanda (jika di kaji dalam keilmuan tentu tak sederhana itu).Itu sebabnya pakar semiotika Umberto Eco mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta, hal itu tentu tak lagi terhindarkan kebenaranya.Namun dengan semakin terpelajar dan kritisnya masyarakat tentu masyarakat tak perlu lagi terkecoh dengan citra yang diciptakan media dan politikus melalui tanda tanda untuk memanipulasi realitas.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar