Rabu, 14 Oktober 2015

consolidation ; mater heads mengenang teman afnan malay

Tabrani Yunis
Darah kembali tumpah di Serambi Makkah pada hari Selasa 13 Oktober 2015. Tragedi berdarah yang menyebabkan meninggalnya satu orang dari kelompok yang ikut bentrok berdarah di negeri kelahiran Syeh Abdurrauf As Singkili, salah satu ulama besar dari Singkil yang namanya hingga kini menjadi nama Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh. Tragedi tumpahnya dan yang menyebabkan meninggalnya satu orang dan selainnya ada 5 orang yang luka-luka, seperti yang disebut dalam berita karena persoalan rumah ibadah yang puncaknya sebuah gereja di desa Suka Makmur, Gunung Meriah, dibakar.
Tragedi ini adalah tragedy yang memilukan dan seharus menjadi pelajaran bagi kita semua. Tragedi ini juga memberikan isyarat kepada kita bahwa sesungguhnya, persoalan solidaritas beragama kita memang belum selesai. Solidaritas masih sebatas pemahaman dan belum pada amalan. Sangat disayangkan, ketika persoalan rumah ibadah, bisa menumpahkan darah. Ya, itu memang kita sayangkan. Namun demikian, ada baiknya akar masalah dari tragedi ini harus diungkap dengan jernih dan jujur. Karena seperti kata orang bijak, ada asap ada api. Kejadian ini pasti ada sebab musababnya. Inilah yang harus dibongkar dengan jelas.
Selain itu, tragedy ini tidak boleh berlarut dan merambat hingga menimbulkan permusuhan massal, permusuhan antar agama. Karena sesungguhnya, apabila tragedy merambat ke mana-mana, maka persoalan akan bertambah panjang, sehingga akar masalah tidak pernah ditemukan dan akhirnya tidak ditemukan pula solusi yang tepat, kecuali permusuhan turunan. Oleh sebab itu, agar persoalan ini selesai dan tidak lagi terulang, semua pihak harus duduk, menahan diri dan emosi, lalu mencari akar masalah, mencari apa factor pemicu, baik secara internal, maupun secara eksternal. Yang penting pasangkan niat yang tulus dan ikhlas untuk menyelesaikan masalah ini. Dengan cara ini, tidak perlu ada pihak yang melakukan sweeping terhadap masyarakat yang beragama Islam, atau sebaliknya terhadap masyarakat yang beragama Kristen. Sebaiknya tindakan ini dihindari dan dicegah.
Melihat soal rumah ibadah, saya teringat dengan suasana rumah ibadah yang pernah saya lihat. Ya dua atau tiga rumah ibadah yang berdiri berdampingan, namun hingga kini rumah ibadah itu masih tetap berdiri bersama. Peristiwa di Singkil ini mengingatkan saya pada apa yang saya saksikan di kota Colombo, Sri Lanka pada September-Oktober 2009, saat aku ikut acara Action Asia Peace Builders forum di Sri Lanka itu. Ya, di suatu sore, ketika pulang dari menikmati suntset di pantai kota Colombo, saya dan beberapa teman memasuki sebuah tempat atau pasar untuk mencari makanan.
Matahari telah terbenam, karena waktu magrib sudah tiba. Saya merasa tertegun ketika melihat sebuah fakta yang nyata, sebuah masjid yang besar berdiri sejajar dan bahkan bila kita lihat dari pandangan yang sedikit jauh, kelihatannya masjid dan gereja itu sedinding. Saya merasa terharu menyaksikan dua rumah ibadah itu berdiri bergandengan, tanpa ada pancara konflik rumah ibadah.
Saya pun tidak tahu pasti bagaimana kedua rumah ibadah itu bisa berdampingan dengan sangat akrab. Entahlah, saya tidak tahu, karena tidak tahu kepada siapa bisa bertanya saat itu. Namun yang pasti saya melihat dan merasakan ada aroma kedamaian dari kedua rumah ibadah tersebut. Ingin rasanya untuk mencari informasi lebih jauh tentang kerukunan yang tampak secara lahiriah pada dua rumah ibadah tersebut, naamun hingga hari ini saya belum mendapat jawabnya. Tetapi pelajaran penting adalah ternyata dua rumah ibadah bisa berdiri bersamaan, tanpa ada tanda-tanda konflik rimah ibadah.
Masjid di tengah kota Yangoon yang berhadapan dengan gereja dan Pagoda
 Kemudian, ketika saya mendapat undangan untuk ikut kegiatan pertemuan the 5th Action Asia Peace builder forum di Yangon, bulan Oktober 2014 lalu, saya melihat fakta kedua. Kala itu ada kesempatan saya dan teman-teman untuk city tour. Ya, berjalan keliling kota Yangon, seperti pada kesempatan seblumnya di Negara lain, seperti di Siem Reap Kamboja, India, Nepal, Srilanka dan lain-lain, selalu ada kesempatan untuk city tour dan field trip. Kegiatan ini, membuat peserta mendapatkan rekaman perjalanan di berbagai tempat. Ada yang menjadi hal sangat menarik dan menjadi titik balik bagi saya, ketika melewati simpang tiga di tengah kota Yangon tersebut. Bus yang kami tumpangi saat itu menuju dan melewati simpang tiga tersebut atau bundaran di depan sebuah pagoda, gereja dan masjid.
Pagoda yang berdampingan dengan masjid dan pagoda gereja di Yangoon
 Sebelum tiba di bundaran itu, dari kejauhan ke depan sudah kelihatan Pagoda yang berwarna emas, begitu besar di hadapan kami. Lalu, menjadi mengejutkan adalah ketika saya melihat ke sebelah kiri, berdiri pula sebuah gereja yang lumayan besar. Ya, saya tidak tahu apa nama gereja tersebut. Lalu, di sebelah kanan, tampak pula sebuah masjid yang megah berdiri di tengah kota Yangon itu. Sehingga terlihat ketiga rumah ibadah itu berdiri megah dengan saling berhadapan. Begitu damainya kelihatannya. Padahal, dalam banyak berita, kita ketahui bahwa di Burma ini, sangat tidak solider dan tidak adil terhadap kaum muslim, dan kaum lainnya, kecuali Budha. Apalagi selama ini, soal nasib kaum muslim Rohingya yang mendapat perlakukan yang sangat menyedihkan adalah cerita buruk yang mencoreng negeri yang disebut Burma ini. Namun, sebuah fakta berbicara ada tiga rumah ibadah, yakni masjid, gereja dan pagoda berdiri beriringan dan bahkan berhadapan. Pertanyaannya adalah mengapa tiga rumah ibadah ini bisa berdiri dengan nyaman dan saling berhadapan? Apakah rahasianya? Saya tidak tahu pasti, Mungkin ada baiknya selidiki dan cari tahu. Sehingga kita bisa belajar dari hal itu.
Gereja di tengah kota Yangoon yang berhadapan dengan masjid dan Pagoda
 Di tanah air, kiranya juga menjadi sebuah buku atau bahan pelajaran bagi kita. Di Ibu kota Indonesia, ya di Jakarta, kita juga melihat realitas beragama yang damai. Para pembaca yang sering ke Jakarta, pasti melihat posisi masjid Istiqlal. Masjid ini juga berada saling berdekatan dengan gereja Katedral. Kedekatan letak kedua rumah ibadah ini menjadi saksi dan symbol toleransi umat beragama di Indonesia. Bahkan John Kerry, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat menyampaikan rasa kekagumannya ketika melihat letak Masjid Istiqlal yang lokasinya saling berseberangan dengan Gereja Katedral di Jakarta. Menurut dia, letak masjid dan gereja yang berdekatan itu menjadi simbol toleransi penting.( Merdeka.com 17/2/14) Nah, berkaca dari tiga lokasi rumah ibadah yang saling berdekatan, saling berhadapan dan juga berdampingan itu, membuat saya juga bertanya-tanya, mengapa kini tempat ibadah itu, apakah gereja, masjid, pagoda dan lainnya bisa berdiri dengan damai, sementara penganut agama-agama langit dan agama bumi, sering sekali berkonflik? Ada apa yang salah dengan kita para penganut agama-agama ini? Barangkali, ada baiknya kita semua yang merasa beragama, untuk masing-masing melakukan refleksi. Dengan cara ini, mungkin akan kita jawab bersama, bahwa bagi mu agamamu, bagi ku agama ku.
Silakan jalankan ibadahmu, tanpa mengganggu ibadah orang lain. Tentu, semua kita harus menjaga dan menghormati orang lain beragama dan beribadah. Untuk menjaga, kerukunan hidup beragama, diperlukan sikap saling menghormati, tidak saling memaksakan kehendak, saling patuh pada regulasi yang sudah dibuat, untuk bisa hidup damai. Mungkin itu. Semoga semua bisa saling menahan diri. Kepada pemerintah, hendaknya bisa mencari jalan yang damai dan diselesaikan dengan cara bijak.  Saya ingin belajar bagaimana rumah ibadah itu bisa berdiri berdampingan dengan damai. Semoga kita diberikan petunjuk oleh Allah SWT.

1 komentar: