Rabu, 14 Oktober 2015

surat surat kepada layang ; even commodore

Senin 12 Oktober 2015, kanal Fiksiana ramai dengan surat-menyurat.
Walau hanya berupa event Fiksiana, tapi surat-surat yang dipublis, baik yang dilirik admins sebagai highligth pun tidak, adalah gambaran dari kesaksian atas perjumpaan, baik dalam pengalaman nyata pun baru sebatas perjumpaan di dunia maya. Selain juga, surat-surat ini terbaca mewakili semesta rasa yang demikian menyentuh. Ada yang berupa kerinduan, ada yang berupa ucap terimakasih, ada pula yang berupa kekaguman, ada juga yang berupa humor segar dan kemarahan.
Dalam kesaksian atas jumpa itulah, secara khusus, saya hanya mau mengajak untuk membaca surat yang ditulis oleh kawan Kompasianer yang juga emak-emak. Yakni Surat Kepada Opa Tjiptadinata yang ditulis oleh Mba Siti Nur Hasanah.
Isi surat Mba Siti ini sungguh bikin terharu. Ditulis sebagai sebuah kesaksian seorang anak yang sudah tidak melihat ayah sejak masih sangat belia, 7 tahun. Lalu dalam perjumpaan yang “difasilitasi” Kompasiana, Mba Siti kembali menemukan sosok Ayah itu dalam diri Opa Tjiptadinata. Ditambah lagi komentar dari Opa Tjipta pada tulisan tersebut, maka rasa haru itu makin susah ditahan. Ada kasih sayang anak dan ayah yang saling bersambut dan menahan rindu untuk bisa bertemu.
[Sampai disini, ambil nafas dan minum air putih dulu, hehehe!]
Kita tahu bersama, pengalaman akan kehilangan memang tidak sama berdampak pada semua orang.
Ada barangkali dari kita yang membaca surat seperti tulisan Mba Siti sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Ada juga yang barangkali membaca itu sebagai sesuatu yang datar-datar saja. Dan ada juga yang membaca itu sebagai sebuah ekspresi sedih yang tidak pernah menemukan obatnya.
Apa pun itu, dalam perasaan saya, pengalaman kehilangan tetaplah sebuah lukisan duka lara. Kalau tidak begitu, maka ia bukan sebuah pengalaman akan kehilangan.
Saya ingat film perang Saving Private Ryan yang diperani Tom Hanks. Salah satu film perang terbaik yang menggabungkan narasi kejinya perang, kehilangan dan usaha untuk menyelamatkan sisa harapan dan hidup pada seorang Ibu yang menunggu anaknya pulang dari medan perang. Anaknya, Ryan, itulah sisa harapan hidupnya yang harus diselamatkan sebelum takdir mati mengambilnya mengikuti saudara-saudaranya yang lebih dahulu gugur. Ryan akhirnya selamat dari cerita duka kehilangan kepada Ibunya, namun itu dengan menghadirkan rasa kehilangan bagi teman-teman yang datang menjemputnya.
Dalam kenyataan sehari-hari, pada pengalaman faktual, kehilangan selalu berkelindan dengan rasa cemas dan takut juga duka lara. Sekeras apa pun pesan teologi mengatakan bahwa hidup manusia di dunia adalah sementaraan dan tidak berakhir disini, pesan itu tetap tidak bisa menahan keluarnya air mata dan rasa duka yang memeluk erat. Bahkan tak sedikit yang memilih untuk menyusul rasa kehilangan itu agar tidak lagi bergulat menanggung kepedihan dan menjalani hidup dalam redupnya harap.
Tantangannya kemudian adalah bagaimana meneruskan hidup pasca kehilangan itu terjadi.
Rumah Kompasiana dan Minimalisasi Rasa Kehilangan
Saya membaca surat Mba Siti yang sangat menyentuh dari pengalaman kehilangan atas sosok Ayah tadi kini--semoga saja--telah “sedikit terobati” dengan perjumpaan yang difasilitasi oleh Kompasiana. Yakni melalui perjumpaannya dengan Opa Tjipta yang pernah terjadi secara riil selain virtual. Di titik inilah, ada hal penting yang sekiranya perlu disimak bersama oleh kita. Yaitu peran Kompasiana dalam meminimalisasi rasa kehilangan.
Point saya, sesudah “mengalami suasana batin” surat Mba Siti itu, adalah ketika Kompasiana menjadi rumah yang mempertemukan sosok-sosok yang sebelumnya tercerai berai rasa karena lokasi geografis juga kesibukan harian, dengan pengalaman kegetiran dan kehilangannya masing-masing, kedalam rasa bersatu hati dan persaudaraan yang kemudian tergerak untuk saling menguatkan. Tegas kata, ketika Kompasiana menjadi rumah teduh yang menyatukan kehangatan persaudaraan manusia-manusia yang sebelumnya saling tak kenal atau berserak lokasi dan situasi hidup itu maka secara bersamaan ia sedang menjadi fasilitator untuk meminimalisir rasa kehilangan.
Kehadiran peran Kompasiana yang seperti ini jelas tidak lantas berarti bahwa kehidupan di dunia nyata yang terpapar rasa kehilangan pada orang terkasih akan segera menjadi lebih ringan. Tetap saja kita harus mempersiapkan diri untuk menjalani setiap pengalaman kehilangan dengan kemampuan diri masing-masing. Namun, paling kurang, pada surat Mba Siti itu, saya melihat sebuah usaha untuk "memanfaatkan Kompasiana" sebagai rumah bersama dalam memperkuat persaudaraan anak manusia.
Ini mungkin secercah cahaya dari event Surat-Menyurat yang, menurut saya, penting untuk dijaga bersama.
Demikian. Salam siang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar