Senin 12 Oktober 2015, kanal Fiksiana ramai dengan surat-menyurat.
Walau
hanya berupa event Fiksiana, tapi surat-surat yang dipublis, baik yang
dilirik admins sebagai highligth pun tidak, adalah gambaran dari
kesaksian atas perjumpaan, baik dalam pengalaman nyata pun baru sebatas
perjumpaan di dunia maya. Selain juga, surat-surat ini terbaca mewakili
semesta rasa yang demikian menyentuh. Ada yang berupa kerinduan, ada
yang berupa ucap terimakasih, ada pula yang berupa kekaguman, ada juga
yang berupa humor segar dan kemarahan.
Dalam kesaksian atas
jumpa itulah, secara khusus, saya hanya mau mengajak untuk membaca surat
yang ditulis oleh kawan Kompasianer yang juga emak-emak. Yakni Surat
Kepada Opa Tjiptadinata yang ditulis oleh Mba Siti Nur Hasanah.
Isi
surat Mba Siti ini sungguh bikin terharu. Ditulis sebagai sebuah
kesaksian seorang anak yang sudah tidak melihat ayah sejak masih sangat
belia, 7 tahun. Lalu dalam perjumpaan yang “difasilitasi” Kompasiana,
Mba Siti kembali menemukan sosok Ayah itu dalam diri Opa Tjiptadinata.
Ditambah lagi komentar dari Opa Tjipta pada tulisan tersebut, maka rasa
haru itu makin susah ditahan. Ada kasih sayang anak dan ayah yang saling
bersambut dan menahan rindu untuk bisa bertemu.
[Sampai disini, ambil nafas dan minum air putih dulu, hehehe!]
Kita tahu bersama, pengalaman akan kehilangan memang tidak sama berdampak pada semua orang.
Ada
barangkali dari kita yang membaca surat seperti tulisan Mba Siti
sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Ada juga yang barangkali membaca
itu sebagai sesuatu yang datar-datar saja. Dan ada juga yang membaca itu
sebagai sebuah ekspresi sedih yang tidak pernah menemukan obatnya.
Apa
pun itu, dalam perasaan saya, pengalaman kehilangan tetaplah sebuah
lukisan duka lara. Kalau tidak begitu, maka ia bukan sebuah pengalaman
akan kehilangan.
Saya ingat film perang Saving Private Ryan yang diperani Tom Hanks. Salah satu film perang terbaik yang menggabungkan narasi kejinya perang, kehilangan dan usaha untuk menyelamatkan sisa harapan dan hidup pada seorang Ibu
yang menunggu anaknya pulang dari medan perang. Anaknya, Ryan, itulah
sisa harapan hidupnya yang harus diselamatkan sebelum takdir mati
mengambilnya mengikuti saudara-saudaranya yang lebih dahulu gugur. Ryan
akhirnya selamat dari cerita duka kehilangan kepada Ibunya, namun itu
dengan menghadirkan rasa kehilangan bagi teman-teman yang datang
menjemputnya.
Dalam kenyataan sehari-hari, pada pengalaman
faktual, kehilangan selalu berkelindan dengan rasa cemas dan takut juga
duka lara. Sekeras apa pun pesan teologi mengatakan bahwa hidup manusia
di dunia adalah sementaraan dan tidak berakhir disini, pesan itu tetap
tidak bisa menahan keluarnya air mata dan rasa duka yang memeluk erat.
Bahkan tak sedikit yang memilih untuk menyusul rasa kehilangan itu agar
tidak lagi bergulat menanggung kepedihan dan menjalani hidup dalam
redupnya harap.
Tantangannya kemudian adalah bagaimana meneruskan hidup pasca kehilangan itu terjadi.
Rumah Kompasiana dan Minimalisasi Rasa Kehilangan
Saya
membaca surat Mba Siti yang sangat menyentuh dari pengalaman kehilangan
atas sosok Ayah tadi kini--semoga saja--telah “sedikit terobati” dengan
perjumpaan yang difasilitasi oleh Kompasiana. Yakni melalui
perjumpaannya dengan Opa Tjipta yang pernah terjadi secara riil selain
virtual. Di titik inilah, ada hal penting yang sekiranya perlu disimak
bersama oleh kita. Yaitu peran Kompasiana dalam meminimalisasi rasa kehilangan.
Point saya, sesudah “mengalami suasana batin” surat Mba Siti itu, adalah ketika
Kompasiana menjadi rumah yang mempertemukan sosok-sosok yang sebelumnya
tercerai berai rasa karena lokasi geografis juga kesibukan harian,
dengan pengalaman kegetiran dan kehilangannya masing-masing, kedalam
rasa bersatu hati dan persaudaraan yang kemudian tergerak untuk saling
menguatkan. Tegas kata, ketika Kompasiana menjadi rumah teduh yang
menyatukan kehangatan persaudaraan manusia-manusia yang sebelumnya
saling tak kenal atau berserak lokasi dan situasi hidup itu maka secara
bersamaan ia sedang menjadi fasilitator untuk meminimalisir rasa
kehilangan.
Kehadiran peran Kompasiana yang seperti ini
jelas tidak lantas berarti bahwa kehidupan di dunia nyata yang terpapar
rasa kehilangan pada orang terkasih akan segera menjadi lebih ringan.
Tetap saja kita harus mempersiapkan diri untuk menjalani setiap
pengalaman kehilangan dengan kemampuan diri masing-masing. Namun, paling
kurang, pada surat Mba Siti itu, saya melihat sebuah usaha untuk
"memanfaatkan Kompasiana" sebagai rumah bersama dalam memperkuat
persaudaraan anak manusia.
Ini mungkin secercah cahaya dari event Surat-Menyurat yang, menurut saya, penting untuk dijaga bersama.
Demikian. Salam siang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar