Rabu, 14 Oktober 2015

konsolidasi : ganyang malaysia sversi

"Apakah kebaikan berbanding lurus dengan keburukan? Saya rasa, tidak. Jika, mereka berbanding lurus,
manusia dan Tuhan tak usah bersusah-payah mengangkat-ngangkat kebaikan [Sorga] dengan menunjuk NabiNya, manusia beramal setengah mati, berjuang susah-payah melawan kejahatan dan dosa,  menumpuk amal, dst. Tetapi, tetap saja apa yang dilakukan manusia, umumnya berakhir dengan keburukan, termasuk perlakuan negeri tetangga kita, Malay, terhadap 3 TKI NTB yang ditembak mati oleh polisi Malaysia. Keluarga korban akan melaporkan hal ini ke HAM PBB.



Pengalaman membuktikan kepada kita semua, kejadian-kejadian yang merugikan Indonesia, karena ulah Malaysia ini, terus berulang, tak putus-putusnya, setiap tahun, ada saja, seperti sistematis. Kita memiliki tetangga dekat yang tak kooperatif dan tak tahu diri, menyepelekan dan tak menghargai Indonesia. Pelajaran bagi Indonesia sendiri, kita masih dipandang sebagai negara lemah, mudah disepelekan, dan mudah saja diperlakukan tidak adil.



Sejarah membuktikan, Indonesia tak pernah "galak" seperti zaman Soekarno, khususnya sejak peristiwa "konfrontasi" Indonesia melawan Malay tahun 1962-1966, dengan kasus dekolonisasi Brunei, Sarawak dan Sabah. Tepatnya setelah Soeharto berkuasa di akhir 1965 [setelah G30S/PKI], negara kita menjadi melemah dimata Malay. Ketika itu, 3 Mei 1964, Soekarno memberi perintah "Dwikora" [dwi komando rakyat] dan diikuti oleh "ganyang Malay" tanggal 27 Juli 1964 dan terjadilah peperangan fisik yang mengorbankan, tidak kurang dari 2.000 nyawa rakyat/tentara Indonesia. Malay, dibantu Inggris dan temannya, Australia, melalui gurkha dan special air service juga jatuh korban, kurang lebih 200 orang mati. Konferensi Bangkok, 28 Mei 1966, mengakhiri kekerasan fisik Indonesia-Malay. Sejak itu, Malay semakin menjadi-jadi "keberaniannya" terhadap Indonesia, sebaliknya Indonesia menjadi "penakut" di mata Malay. Kebijakan "stel kalemnya" Soehartolah yang membentuk kultur lemah negara kita terhadap Malay.



Pengalaman konfrontasi fisik tsb. membuktikan, bahwa perang fisik adalah "emosi-nasionalisme yang meledak" di satu pihak, namun juga bukanlah solusi terbaik dan bukan tindakan yang bijak, di sisi yang lain. Kita perlu mengganti strategi yang elegan melawan kesemena-menaan mereka, dengan cara-cara yang damai dan cerdas.





Lawanlah Malay dengan 3 kecerdasan
Jika ingin "membalas keburukan" Malay atas Indonesia yang terus-menerus itu, kita harus meninggalkan konsep "jahat dibalas jahat", "mata dibalas mata", "nyawa dibalas nyawa", atau cara-cara fisik 3 kekerasan DOT "dengkul, otot, dan tombak."  Lawanlah Malay dengan IQ, EQ dan SQ. Lawanlah Malay dengan damai, janganlah dendam, janganlah sakit hati, tetapi dengan cerdas.
Kecerdasan intelektual, lawanlah Malay dengan kepandaian yang lebih unggul. Berjuanglah sangat keras, agar TKI yang dikirimkan ke Malay benar-benar "unggul berkualitas" atau stop mengirimkan TKI yang bodoh. Supaya  majikannya tidak  berani memperkosa atau menganiaya. TKI harus diajarkan bela diri yang mapan sebagai self-defense dan keterampilan bekerja yang tinggi. TKI harus nampak percaya diri dan pandai. Kedua, stop memakai produk Malay yang masuk ke Indonesia, seperti CIMB Niaga, BII Maybank, XL, Air asia, Petronas, mobil Proton, Sime Darby [perkebunan besar di Sumatera].  Saya sudah berhenti sebagai nasabah dari CIMB Niaga sejak awal 2011 dan telah berhenti sebagai pelanggan XL dengan nomor lama 0817.xxxxxxx per 28 April 2012. Jadilah bangsa yang unggul cerdas, agar jangan sampai Malay menguasai saham-saham perusahaan di Indonesia, meski saat ini ke 7 usaha mereka itu memberi lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. Jadilah seperti Abu Dhabi yang menciptakan alat penurun hujan di gurun pasir sendiri. Jadilah bangsa mandiri dan kuat. Atau, perbesarlah brand quality & image bangsa sendiri, lalu loyallah pada produk dalam negeri sendiri, bukan ke produk Malay. Jika pilih operator, pilihlah telkomsel atau telkom, jika pakai bank, pilihlah Mandiri, BRI, BNI atau BCA, jika pakai mobil, pilihlah non-Malay, jika beli bensin pergilah ke Pertamina, bukan ke Petronas. Berhentilah sekarang menjadi pelanggan/customer ke 7 produk Malay dan beralihlah ke produk sendiri.



Kecerdasan emosional, lawanlah Malay dengan senjata pertemanan dan persahabatan sebagai tetangga. Kemarahan emosional yang disalurkan lewat teguran dan peringatan sebagai teman, lebih masuk, ketimbang mengutuki mereka sebagai musuh bebuyutan. Sebagai tetangga dekat, kita tentu tidak mau kedutaan KBRI kita [yang meski payah kinerjanya dalam kaitan dengan perlindungan 3 TKI NTB yang mati baru-baru ini], dibakar warga Malay, dan sebaliknya, kita juga tidak mau menjarah dan membakar kedutaan Malay di Jakarta, seperti zaman "ganyang Malay." Melalui jendela kerjasama bisnis to bisnislah, Indonesia harus bisa masuk ke wilayah Malay, membeli saham dan menguasai XL di Malay, Pertamina membeli saham Petronas, Bank Mandiri atau Astra membeli saham CIMB Niaga, dst. Harus lebih banyak mahasiswa Malay yang belajar di tanah air, seperti tahun 1970-1980an, jangan sebaliknya. Depnakertrans dan BNP2TKI, harus lebih tegas kalau perlu marah konstruktif dan punya "taring perkawanan" melawan keangkuhan kerajaan Malay, termasuk mendorong Malay meratifikasi komitmen perlindungan tenaga kerja via konvensi PBB tahun 1990 tentang hak buruh, dst. Itu bisa dilakukan jika kita cerdik seperti ular tulus seperti merpati dan tidak bermusuhan dengan mereka. Indonesia -Malay harus bicara baik-baik, karena saling membutuhkan.
Kecerdasan spiritual, lawanlah Malay dengan senjata keimanan dan kedamaian. Kebetulan 2 tetangga ini, agama dan suku bangsanya serumpun, khas melayu, bercorak mayoritas Islam. Dengan pendekatan ke-Islam-an, melalui kerjasama MUI dan Majelis Ulama Malay [mufti di 13 negeri dan 1 wilayah persekutuan], tentu sinergi kerohanian akan lebih "mendinginkan" urat syaraf yang tegang. Kesejukan hubungan bertetangga harus dibangun agar dirasakan oleh rakyat ke 2 negara. Indonesia tidak boleh menyakiti, begitu juga Malay. Kebakaran hutan di Kalimantan yang merugikan tetangga, harus dicegah.  Ulama Indonesia harus mengambil inisiatif agamis untuk menjalin hubungan silahturahmi yang sehat, harmonis dan saling menghormati.  Ciptakanlah pertukaran pelajar dan pengajar sekolah agama ke 2 negara, seperti di sekolah umum antara Indonesia-Amerika, Indonesia-Australia dst. Warga Indonesia yang kaya bisa membangun rumah ibadah disana dan sebaliknya. Itulah manfaat beragama, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar