UDUL BUKU : M Quraish Shihab : Cahaya, Cinta dan Canda
PENULIS : Mauluddin Anwar, Latief Siregar, Hadi Mustofa
PENERBITA : Lentera Hati
JUMLAH HALAMAN : 309 Halaman
TAHUN TERBIT : Juli, 2015
Muhammad
Quraish Shihab, biasa disapa Quraish, sama seperti kita dalam
kesehariannya. Ia kadang sedih, menangis, gembira, tertawa bahkan bisa
pula bercanda. Quraish bukan sosok serius dan detil seperti kita lihat
dalam program acara religius ketika dia menafsirkan ayat-ayat Alquran.
Buku ini ingin mengungkap sisi lain dari kehidupannya mulai dari kecil
hingga meraih gelar doktor tafsir Alquran dari Universitas Al Azhar
Mesir.
Tapi buku ini bukan buku biografi yang
mengungkap secara detil perjalanannya. Trio penulis buku ini hanya
mengambil snapshot perjalanan hidupnya, yang sama sekali jauh dari
"bau” tafsir Alquran. Kalau pun ada, itu juga tidak berpanjang lebar
seperti Quraish menafsirkan Alquran di layar televisi. Semisal ada bab
soal jilbab ataupun tudingan dirinya sebagai penganut syiah.
Buku setebal 309 halaman ini dibuka dengan cerita masa kecil Quraish. Ia
lahir 16 Februari 1944 di Lotasalo, Kabupaten Sidenreng Rappang,
Sulawesi Selatan, anak keempat dari 12 bersaudara dari
Abdurrahman Shihab dan Asma. Orangtua ini sangat memperhatikan betul
pendidikan putra putrinya. "Aba tidak akan meninggalkan harta buat
kalian, tapi semoga bekal pendidikan dapat Aba usahakan. Kalau perlu Aba
jual gigi," kata-kata ayahnya itu selalu tergiang di telinga Quraish
kecil (Hal.12). Begitulah hingga akhirnya Quraish mengondol gelar
doktor di bidang tafsir Alquran dari Universitas Al Azhar Mesir.
Buku ini memberikan pelajaran kepada pembaca, pertama, pendidikan
adalah utama. Qurasih bisa menjadi seperti sekarang sampai pernah
menjadi Menteri Agama selama 70 hari di ujung kekuasaan Presiden
Soeharto, pada 1998, semua itu tak lepas dari lepas dari proses
pendidikan yang dijalani Quraish.
Dalam menuntut ilmu, Quraish
menjalaninya dengan tertatih-tatih. Satu cerita yang untuk mengambarkan
diri, saat dirinya kuliah di Universitas Al Azhar Mesir. Bersama adiknya
Alwi Shihab, mantan Menteri Luar Negeri, era Presiden Gus Dur, ia
melancong ke Jerman, bekerja di pabrik onderdil mobil. Upah dari bekerja
ini, dua beradik ini akhirnya bias menutupi kebutuhan untuk hidup di
Mesir. Bahkan Quraish sempat mengirimkan penghasilan dari bekerja itu
kepada ibunya.
Kedua, tingkat kedisplinan Quraish
sangat tinggi, terutama dalam menulis. Usai Shalat Subuh, Quraish bias
menulis 7 sampai 8 jam sehari. Pada usia 22 tahun, dia sudah menulis
dalam bahasa arab sepanjang 60 halaman berjudul Al Khawatir. Di dalam
buku ini, dicatat, Quraish sudah menghasilkan 40 judul buku, sebagian
besar best seller, dicetak berulang-ulang.
Ketiga, Quraish
orangnya moderat. Dalam buku ini, tidak diceritakan mazhab keagamaannya.
Ketika membahas persoalan keagamaan yang
muncul di masyarakat, ia memaparkan lalu menjelaskan mazhab dan
pemikiran yang terkait dengan persoalan yang mengemuka di masyarakat.
Dengan pemaparan demikian ia mempersilahkan masyakarat menggunakan akal
sehatnya. Kalau pun ingin mengikuti dirinya. dia juga tidak menolak.
Sikap moderat ini menurun dari ayahnya. Aba selalu mementingkan
sikap moderat tanpa bermaksud menggampangkan dan selalu mencari titik
temu. Ini bukan saja antar kelompok Islam tapi juga dengan kelompok non
Muslim (Hal.25)
"Sayalah yang paling konsisten di antara kakak dan adik. Berada di
tengah dan memilih organisasi yang lebih menyatukan umat. Saya bukan
NU, Muhammadiyah,Sunni atau Syiah," kata MQS (Hal.28)
Sebagai kepala keluarga, dia juga tidak otoriter. Ia selalu piawai
sekali membangun suasana saling menghargai serta menghormati antar
anggota keluarga. Soal pendidikan anak, dirinya membebaskan anak
didiknya memilih karir,p sesuai potensi yang dimiliki. Salah satu
anaknya dikenal publik, Najwa Shihab, presenter acara Mata Najwa di
televisi.
Buku ini juga mengungkap kegemaran pakar tafsir
Alquran hobi sepakbola. Dia pendukung berat Los Blancos, Real Madrid.
Idolanya legenda Real Madrid Alfredo de Stefano, pemain terbaik dunia
1957 dan 1959.
Saat Real Madrid melawat ke Mesir,
melakukan pertandingan persahabatan dg Zamalek Sport Club, klub liga
Mesir, juga klub kesayangannya, ia bersama dengan adiknya Alwi Shihab,
tahan berjalan kaki sejauh 1 jam menuju stadion.
Di dalam stadion, ia bisa melihat dari dekat gocekan Alfredo de
Stefano. Biasanya ia hanya menyaksikan Alfredo di layar televisi. Ia merasa puas meski pulang harus jalan kaki lagi.
Kepada dua cucunya yang hobi bola, Fathi dan Izzat, Quraish bercerita
pemain bola bernama Qreschev. Pemain klub Zamalek Mesir dan berposisi
sebagai gelandang. Setelah banyak mengenal referensi pemain bola kelas
dunia, Fathi dan Izzat tidak menemukan pemain bernama Qreschev.
Akhirnya dia buka kartu. Qreschev itu personifikasi dirinya. Qreschev
itu plesetan dari Quraish Shihab.
"Izzat kalau mau jadi pemain bola profesional saya dukung. Pemain bola
profesional yang shalat, pengaruhnya lebih hebat dari seorang kyai,"
pesan Quraish, biasa disapa Habib oleh cucu-cucunya.
Meski gemar menonton bola, tidak menyurutkan hobi menulis dan
membacanya. Fatmawaty, isterinya, terpaksa jadi isteri kedua, kala
dirinya sudah berhadapan dengan komputer atau laptop. Hingga usianya
70 tahun (16 Februari 2015), jumlah halaman dari semua bukunya mencapai
24. 251 halaman. "Saya merasa tidak hidup kalau tidak menulis. Saya
sangat nyaman di depan komputer dan saya tidak pernah kehabisan ide,"
kata Quraish. (Hal. 268).
Tentu karya fenomenalnya, Tafsir Al
Misbah sebanyak 15 jilid. Buku tafsir ini sudah 10 kali cetak ulang.
Padahal satu jilid harganya
Rp. 2.430.000.
Apa rahasianya Quraish begitu produktif menulis? Jawabanya ada di
secangkir kopi teh manis. Dengan adukannya sendiri, Quraish akan larut
dalam menulis. Tapi minuman itu harus dirinya sendiri yang
membuatnya. Racikan teh isterinya pun tak mempan di lidah Quraish.
"Saya tidak bisa menulis tanpa minum teh buatan sendiri. Karena. Itu
pada bulan puasa saya tidak produktif menulis," katanya.
Buku
ini pun seperti secangkir teh manis yang diracik Quraish. Sulit mencari
titik lemah dari buku ini semisal salah tulis atau hasil cetakan tidak
sempurna. Meskipun demikian, sekali lagi, buku ini tidak mengambarkan
secara utuh, perjalanan hidup Quraish. Sebenarnya, masih banyak yang
bisa digali dari kepribadiannya. Yang jelas, usai membaca buku ini,
kita harus banyak belajar dari Habib Creschev ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar